Secara bahasa, kata haji bermakna al-qashdu yang artinya menyengaja untuk melakukan sesuatu yang agung. Menurut Ahmad Sarwat, Lc dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia Haji dan Umrah disebutkan bahwa haji juga bermakna mendatangi sesuatu atau seseorang.
Sedangkan secara istilah syariah, haji berarti mendatangi Kakbah untuk mengadakan ritual tertentu. Jadi bisa dikatakan bahwa haji adalah menyengaja mengunjungi Baitullah untuk beribadah kepada Allah dengan syarat atau rukun tertentu, serta pada waktu tertentu pula.
Melansir dalam buku Haji dan Umrah Bersama M Quraish Shihab yang ditulis M Quraish Shihab arti haji adalah berkunjung ke suatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah yang dikenal umat manusia melalui tuntunan agama-agama, khususnya di belahan timur dunia kita ini.
Haji diharapkan dapat menjadi pengantar manusia kepada pengenalan jati diri, membersihkan dan menyucikan jiwa.
Haji Terikat dengan Waktu
Ibadah haji tidak bisa dikerjakan di sembarang waktu. Dalam setahun, ibadah haji hanya dikerjakan sekali dan yang menjadi inti dari ibadah haji adalah pada tanggal 9 Zulhijah melaksanakan wukuf di Arafah.
Ibadah haji tidak hanya dikerjakan di Kakbah saja. Akan tetapi juga harus bertawaf di Kakbah dan sa’i di Shafa dan Marwah yang posisinya masih di dalam Masjidil Haram. Ada pula tempat lain di luar kota Makkah yang harus didatangi jemaah haji yakni Arafah, Muzdalifah dan Mina.
Hukum Berhaji dalam Islam
Perintah haji dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”
Menukil Fiqh as-Sunnah 3 karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan Abu Aulia dan Abu Syauqina, menjelaskan bahwa haji wajib dilakukan sekali seumur hidup. Hal ini bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, ia berkata:
“Suatu ketika Rasulullah SAW berceramah kepada kami. Beliau bersabda,
‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka laksanakanlah.’
Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah wajib dilakukan setiap tahun?’ Rasulullah SAW diam hingga orang tersebut mengulang pertanyaannya tiga kali.
‘Jika aku mengatakan ya, maka haji akan menjadi wajib (setiap tahun) dan kalian tidak akan mampu,’ sabda Rasulullah SAW, ‘Janganlah kalian mempertanyakan kepadaku apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sungguh, umat sebelum kalian menjadi binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan nabi mereka. Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka jauhilah.'” (HR Muslim, An-Nasa’i, dan Tirmidzi)
Gelar Haji dan Hajjah di Indonesia
Fiolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Oman Fathurahman berpendapat bahwa tradisi pemberian gelar haji di Indonesia sah-sah saja. Jika ditarik sejarahnya, gelar ini disematkan untuk jemaah haji yang telah menempuh perjalanan menuju Tanah Suci dengan perjuangan yang berat.
Dalam laman Kemenag, Oman menjelaskan jemaah haji zaman dulu harus mengarungi lautan, menerjang badai berbulan-bulan, menghindari perompak hingga menjelajah gurun pasir.
Gelar haji tentu tidak lantas melunturkan keikhlasan dalam berhaji. Karena salah satu ciri haji yang mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) dan selalu menebar kebaikan.
(Source ; detik.com)